Penulis : Asma Nadia
Pfui,
kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Bosan aku. Lagi-lagi calon suami yang
dibicarakan. Bayangin, sudah dua bulan ini tidak ada topik yang lebih
trend di rumah, selain soal suami.
Mulai
dari Papi yang selalu nyindir, sudah pengen menimang cucu. Mami yang
berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu. Lalu
Bambang, adikku, yang kuharap bisa menetralisir suasana, tak urung ikut
menggoda. Bahkan si kembar Rani-Rano, yang masih es em pe pun,
ikut-ikutan menceramahiku.
”Mbak
Ajeng kan udah jadi insinyur, udah waktunya dong, mikirin berkeluarga.
Lagian, Rani sama Rano kan udah pengen dipanggil ’Tante dan Oom’. Tika
aja yang baru kelas enam, keponakannya udah empat!”
”Iya,
Mbak. Jaman sekarang, perempuan itu harus agresif. Mbak Ajeng sih,
kerjanya belajar ama ngaji melulu!” Rano menimpali kata-kata kembarnya.
Aku hanya bisa melotot, nemu di mana lagi pendapat kayak gitu.
”Udah sana kalian belajar!” hardikku agak keras.
”Tuh, kaaaan?!?” seru mereka berdua kompak.
Huhh, dasar kembar!
***
”Ajeng…!”
Kudengar panggilan Mami dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar. Setelah merapikan jilbab, aku keluar.
”Ada apa, Mi?” tanyaku lunak. Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki, duduk di sudut ruangan.
Kedua bola mata Mami tampak bersinar-sinar. Oo…Oo…! Pasti ada yang nggak beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon! Tapi….
Benar saja.
“Ajeng, kenalin. Ini tangan kanan Papi di kantor. Hebat, ya! Masih muda sudah jadi Wakil Presiden Direktur. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak Bui….”
”Boy, Tante!”
”Eh, iya. Boi!”
Aku hanya bisa menahan geli. Mami…Mami…!
Rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus mendengarkan obrolan Mami dengan Si Boi tadi.
Bukan main, lagaknya! Batinku menggerutu sendiri, mendengar cerita-ceritanya yang melulu berbau luar negeri.
”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan keliling Amerika, bahkan Eropa setiap kali holiday!”
Hihhh,
gemas aku! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mami. Benar-benar
nggak peka nih anak. Kok bisa sih nggak merasa dicuekin? Tetap aja
ngomong. Tak perduli aku yang cuma diam dan sesekali manggut.
Kupanjatkan syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boi pulang.
Alhamdulillah!
***
Kulihat Bambang tertawa. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya. Orang cerita panjang lebar minta advise, kok cuma diketawain?!?
”Bang,
serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mami nanyain kamu soal Boy, awass
kalau kamu setuju!” ancamku serius. Bambang masih cengar-cengir.
”Mbak
Ajeng gimana, sih? Biasanya Mbak yang nyuruh aku sabar menghadapi
segala sesuatu. Lho, kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja, Mbak,
sabar! Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu
ayat di Al-Quran.
Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy. Astaghfirullah!
”Mbak
bingung, Bang! Habis serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti, kan,
milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih sekarang susah. Mbak
nggak pengen gambling. Salah-salah pilih, resikonya besar. Nggak
main-main, dunia akhirat!”
Sekejap, kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali menggodaku.
”Apa perlu Bambang yang nyariin???!”
Lemparan bantalku kembali melayang.
***
Kriiiiing…!!!
Ups, kumatikan bunyi weker yang membangunkanku. Jam tiga lebih seperempat. Aku
bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu.
Kuperhatikan lampu kamar Bambang masih menyala. Sayup-sayup suara kaset
murattal terdengar.
Tercapai
juga niatnya untuk begadang malam ini, pikirku. Heran, kebiasaan
menghadapi ujian dengan pola SKS (Sistem Kebut Semalam) masih membudaya
rupanya.
Cepat kuhapuskan pikiran tentang Bambang dan ujiannya. Mataku
nanar menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air wudhu
yang tersisa dengan handuk kecil. Oooohh, begini rupanya gadis di
penghujung usia dua puluh sembilan? Kuperhatikan bentuk wajahku yang
makin tirus. Baru kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana
perginya rona merah yang biasa hadir di sana. Mungkin hilang termakan
usia. Ya Rabbi, pantas saja Papi dan Mami begitu khawatir. Sudah sulung
mereka tak cantik, menjelang tua, lagi!
”Ir. Ajeng Prihartini.” Kueja namaku sendiri.
”Jangan
cemas ya ukhti, ini bukan nasib buruk!” Bisikku menghibur. Bagaimana
pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rizki, dan maut, Dia
yang menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan
kita raih dalam hidup. Tidak, ada hal lain yang lebih penting, lebih
pasti. Ada kematian, maut yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang selama
ini sering kuucapkan kepada saudaraku muslimah yang lain, ketika mereka
ramai meresahkan calon suami yang tak kunjung datang.
”Sebetulnya
kita ini lucu, ya? Lebih sering mempermasalahkan pernikahan, hal yang
belum tentu terjadi. Maksud Ajeng, bergulirnya waktu dan usia, nggak
seharusnya membuat kita lupa untuk berpikir positif terhadap Allah.
Boleh jadi calon kita ini nggak buat di dunia, tapi disediakan di surga.
Mungkin Allah ingin memberikan yang lebih baik, who knows?” ujarku optimis, dua tahun yang lalu.
Astaghfirullah! Ishbiri ya ukhti, isbiri….
Tanganku
masih menengadah, berdoa, saat kudengar azan Subuh berkumandang. Hari
baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, untuk satu
hari lagi kesempatan beramal dan taubat, yang masih Kau berikan.
***
Selesai
berurusan dengan Mami untuk masalah Boy, gantian aku harus menghadapi
Tante Ida yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku cuma
bisa manggut-manggut.
”Tante
sih terserah Ajeng. Pokoknya lihat aja dulu. Syukur-syukur Ajeng suka.
Dia anak lurah. Bapaknya termasuk juragan kerbau yang paling kaya di
Jawa. Tapi nggak kampungan, kok. Anak kuliahan juga seperti kamu!”
promosi Tante Ida bersemangat.
Dua hari kemudian, Tanteku itu kembali datang dengan ’balon’nya.
”Junaedi. Panggil aja Juned!”
Aku hanya mengangguk. Tak membalas uluran tangan yang diajukannya.
Selama
pembicaraan berikutnya, berkali-kali aku harus menahan diri, untuk
tidak lari ke dalam. Aku tidak ingin menyinggung perasaan Tante Ida.
Apalagi beliau bermaksud baik. Hanya saja, asap rokok Juned benar-benar
membuatku mual. Malah nggak berhenti-henti. Habis sebatang, sambung
sebatang. Persis lokomotif uap jaman dulu!
Dengan berani pula ia mengomentari penampilanku.
”Eng…jangan
tersinggung ya, Jeng. Aku suka bingung sendiri ngeliat perempuan yang
memakai kerudung. Kenapa sih tidak pintar-pintar memilih warna dan
mode?! Aku kalau punya isteri, pasti tak suruh beli baju yang
warna-warnanya cerah, menyala. Sekaligus yang bervariasi. Seperti yang
dipakai artis-artis kita yang beragama Islam itu lho, sekarang. Ndak
apa-apa toh sedikit kelihatan leher atau betis?! Maksudku biar tidak
terlihat seperti karung berjalan gitu lho, Jeng! Hahaha….”
Kontan
raut mukaku berubah. Tanpa menunggu rokok keenamnya habis, aku mohon
diri ke dalam. Tak lama kudengar suara Juned pamitan. Alhamdulillah.
Ketika Tante Ida menanyakan pendapatku, hati-hati aku menjawab.
”Maaf ya, Tan…, rasanya Ajeng nggak sreg. Terutama
asap rokoknya itu, lho. Soalnya Ajeng punya alergi sama asap rokok.
Mana kelihatannya Juned perokok berat, lagi. Maaf ya, Tan…, udah
ngerepotin.”
Bayang kekecewaan tampak menghiasi raut muka Tante Ida.
”Bener,
nih…nggak nyesel? Tante cuma berusaha bantu. Ajeng juga mesti
memikirkan perasaan Mami sama Papi. Susah lho, nyari yang seperti Juned.
Udah ganteng, dokterandes lagi! Terlebih kamu juga sudah cukup
berumur.”
Bujukan
Tante Ida tak mampu menggoyahkanku. Dengan masih kecewa, beliau
beranjak keluar. Sempat kudengar Tante Ida berbicara dengan Papi dan
Mami. Sempat pula kudengar komentar-komentar mereka yang bernada kecewa, sedih. Ya Allah, kuatkan hamba-Mu!
Hari berangsur malam. Aku masih di kamar, mematung. Beragam perasaan bermain di hatiku. Sementara itu, hujan turun rintik-rintik.
***
Siang
begitu terik. Langkahku lesu menghampiri rumah. Capek rasanya jalan
setengah harian, dari satu perpustakaan ke perpustakaan IPB lainnya.
Namun buku yang kucari belum juga ketemu. Padahal buku itu sangat
kuperlukan untuk menghadapi ujian pasca sarjanaku sebentar lagi. Sia-sia
harapanku untuk bisa beristirahat pulang ke Depok. Kereta yang
kutumpangi benar-benar penuh. Sudah untung bisa berdiri tegak, dan tidak
doyong ke sana ke mari, terdesak penumpang yang lain.
”Assalamu’alaikum!”
perasaanku kembali tidak enak, melihat Mami yang tidak sendirian.
Seorang lelaki berjeans, dengan sajadah di pundak, dan kopiah di kepala,
tampak menemani beliau. Jangan…jangan….
”Wa’alaikumussalam.
Nah, ini Ajengnya sudah pulang. Ajeng, sini sayang. Kenalkan, Saleh.
Putera Pak Camat yang baru lulus dari pondok pesantren di Kalimantan. Kalian
pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan masjid di sini. Lho, Ajeng…,
kok malah diam? Maaf Nak Saleh, Ajeng memang pemalu orangnya.”
Duhh, Mami!
Kali
ini Mami membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Rani
mendampingiku. Dia setuju setelah aku janji akan menemaninya mendengar
ceramah di Wali Songo, pekan depan.
Selama
Saleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya yang
jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Saleh bercerita
tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Bukan main.
Lalu ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat
Islam. Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk
ketika tahiyat, dan lain-lain yang senada.
Terus terang, aku tidak begitu setuju dengan caranya. Betul
bahwa semuanya harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin
meributkannya, hanya akan memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah
bahwa masing-masing berpegang pada sunnah Rasulullah. Tentunya akan
lebih baik, jika kita justru berusaha mencari titik temu atau persamaan,
dan bukan malah memperlebar jurang perbedaan.
”Kalau menurut Saleh, kasus Bosnia itu bagaimana?” tanyaku mengalihkan perhatian.
”Oooh,
itu. Ane sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ane, tidak
seharusnya masalah Bosnia itu digembar-gemborkan. Itu akan membuat sikap
tersebut kian membudaya. Sudah saatnya pola sikap ngebos, dan
penghargaan masyarakat terhadap orang-orang yang punya kedudukan,
diarahkan sewajarnya. Agar tidak berlebihan.” ulasnya panjang lebar.
Gantian aku yang bingung.
”Saya…saya tidak paham apa yang Saleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.
”Kenapa? Apa karena bahasa yang ane gunakan terlalu tinggi atau bagaimana, hingga Ajeng sulit memahami?”
Aku tambah melongo.
”Bukan itu, ini…, Bosnia yang mana, yang Saleh maksudkan?” tanyaku makin bingung.
”Lha, yang nanya kok malah bingung?! Yang ane bicarakan tadi ya tentang Bosnia, Boss-Mania, kan maksud Ajeng?!!”
Ufh,
kutahan tawa yang nyaris meledak. Bingung aku, ternyata masih saja ada
orang yang meributkan hal-hal yang relatif lebih kecil, dan melupakan
masalah lain yang lebih besar. Dari sudut mataku, kulihat Rani
pringas-pringis menahan geli, sambil mempermainkan kerudung pink-nya.
Lucu sekali.
”Bukan,
yang Ajeng maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada
saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia.” aku berusaha menjelaskan
dengan sabar.
Tampak Saleh manggut-manggut.
”Ooooh, yang itu. Ya…jelas penindasan itu tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan,” ujar Saleh optimis, lalu….
”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”
Tawa Rani meledak.
Duhhh, Mami!!!
***
Malamnya, waktu aku protes ke Mami, soal calon-calon itu, tanpa diduga, malah Mami yang marah.
”Lho,
kamu itu gimana toh? Kata Bambang kamu maunya sama Saleh. Pas Mami
temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi
sebenarnya, Saleh yang mana calon kamu itu?” suara Mami meninggi.
Aku terhenyak. Bambang yang duduk di kursi makan tersenyum simpul. Awas, kamu de’! Bisikku gemas.
”Bukan
yang namanya Saleh, Mi. Ajeng ingin orang yang saleh, yang taat
beribadah. Orang yang punya pemahaman paling tidak mendekati
menyeluruhlah, tentang Islam. Yang Islamnya nggak cuma teori, tapi ada
bukti. Yang nggak jelalatan memandang Ajeng terus-terusan dari ujung
jilbab sampai kaos kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Ajeng
tahu, usia Ajeng sudah jauh dari cukup. Ajeng juga pengen segera
menikah. Perempuan mana sih, yang tidak ingin berkeluarga, dan punya
anak?” lanjutku hampir menangis.
”Tapi…,
tolong. Jangan menyudutkan Ajeng. Tolong Mami bantu Ajeng agar bisa
tetap sabar, tetap tawakkal sama Allah. Kita memang harus berusaha, tapi
jangan memaksakan diri. Biar Ajeng mesti nunggu sampai tua, Ajeng siap.
Daripada bersuamikan orang yang akhlaknya tidak Islami. Tolong Ajeng,
Mi…tolong!” Kusaksikan mata Mami berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam
pelukannya. Berdua kami berisakan. Papi turut menghampiri, menepuk-nepuk
pundakku. Rani dan Reno terdiam di kursinya.
”Maafin Mami, sayang….” suara Mami lirih, memelukku makin erat.
***
Kesibukanku menulis diary terhenti.
”Mbak Ajeng…telepon tuh!” pekik Rano keras.
”Dari siapa? Kalau dari Anto Boy, Didin, Juned, atau Saleh, Mbak nggak mau terima!” balasku agak keras.
Hening, tidak ada panggilan lanjutan dari Rano. Aku lega.
Alhamdulillah,
sejak kejadian malam itu, perlahan topik trend kami bergeser. Mami
tidak lagi menyodorkan calon-calonnya, sebelum menanyakan kesediaanku.
Beberapa Oom dan Tante yang datang, harus pulang dengan kecewa karena
promosi dibatalkan. Aku masing ingin menenangkan diri dulu.
Kuraih pena. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:
Usiaku hari ini bertambah setahun lagi.
Tiga
puluh tahun sudah. Alhamdulillah. Kuharap, tahun-tahun yang berlalu,
meski memudarkan keremajaanku, namun tidak akan pernah memudarkan ghirah
Islamiah yang ada. Mudah-mudahan aku bisa tetap istiqamah di jalan-Nya.
Ujian
pasca sarjanaku sudah selesai. Sebentar lagi, satu embel-embel gelar
kembali menghiasi namaku. Belum lama ini aku juga mengambil kursus jahit
dan memasak. Dengan besar hati pula, Mami mesti mengakui, bahwa
kemahirannya di dapur, kini sudah tersaingi.
Alhamdulillah,
sekarang aku lebih bisa berkonsentrasi untuk menulis, dan memberikan
berbagai ceramah di beberapa kampus dan masjid. Baru sedikit itulah,
yang bisa kulakukan sebagai perwujudan syukurku atas nikmat-Nya yang tak
terhitung.
Calon suamiku….
Aku
maklum, bila sampai detik ini kau belum juga hadir. Permasalahan yang
menimpa kaum muslimin begitu banyak. Kesemuanya membentuk satu daftar
panjang dalam agenda kita. Aku yakin ketidakhadiranmu semata-mata karena
kesibukan dakwah yang ada. Satu kerja mulia, yang hanya sedikit orang
terpanggil untuk ikut merasa bertanggung jawab. Insya Allah, hal itu
akan membuat penantian ini seakan tidak pernah ada.
Calon suamiku….
Namun
jika engkau memang disediakan untukku di dunia ini, bila kau sudah siap
untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupan ini, yang akan menjadi
nilai plus di hadapan Allah (semoga), maka datanglah. Tak usah kau
cemaskan soal kuliah yang belum selesai, atau pekerjaan yang masih
sambilan. Insya Allah, iman akan menjawab segalanya. Percayakan semuanya
pada Allah. Jika Dia senantiasa memberikan rizki, padahal kita tidak
dalam keadaan jihad di jalan-Nya, lalu bagaimana mungkin Allah akan
menelantarkan kita, sedangkan kita senantiasa berjihad di sabil-Nya?!
Banyaklah berdoa, Calon Suamiku, di manapun engkau berada. Insya Allah, doaku selalu menyertai usahamu.
Wassalam,
Adinda
NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?
Deg!
Aku tersentak. Pena yang kugenggam jatuh. Rasa-rasanya kudengar satu
suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat
menyibak tirai yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu, kudengar
suara Papi memanggilku.
”Ajeng…!”
Hampir
aku terjatuh, saking tergesanya menghampiri beliau. Sekilas mataku
menyapu bayangan seorang lelaki berkaca mata, yang berdiri tak jauh dari
Papi, dengan wajah tertunduk, rapat ke dada. Di belakangnya, Bambang
berdiri dengan senyum khasnya.
”Nah,
Nak Syahril, kenalkan, ini yang namanya Ajeng. Puteri sulung Oom. Lho,
kok malah nunduk?” suara ngebas Papi kembali terdengar.
Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Syahril tetap menunduk.
”Ayo,
salaman. Ini lho, Jeng…puteranya Mas Wismoyo, sahabat Papi sejak jaman
revolusi dulu, sekaligus Ass Dos-nya Bambang di FISIP. Baru lulus ya
Nak?”
Syahril mengangguk. Tapi, tetap tak ada uluran tangan.
”Assalamu’alaikum, Ajeng. Saya Syahril.”
Masya Allah! Aku masih melongo, terpana.
“Insya
Allah, hari ini saya akan berta’aruf dengan Ajeng. Kalau Ajeng setuju,
khitbahnya bisa dilaksanakan besok. Sesudah itu…mudah-mudahan kita bisa
jihad bareng….”
Agak samar kudengar kalimatnya yang terakhir. Kulihat Papi tersenyum lebar, melirikku.
”Apa, Jeng…khitbah? Ngelamar, ya…??”
Aku mengangguk pendek, tersipu. Tawa Papi makin lebar.
Aku masih terpana.
Masya Allah, calon suamiku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini, kamu???